Rumah adalah salah satu kebutuhan mendasar bagi manusia. Kehadiran rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal bagi penghuninya, tetapi juga tempat membangun keluarga hingga beristirahat dari aktivitas yang dijalani sehari-hari. Sayangnya, meski masih dikategorikan sebagai salah satu kebutuhan dasar, tidak semua kalangan memiliki rumah. Salah satu di antaranya yang belakangan ini dikenal sebagai kaum milenial. Meski sudah memasuki usia dewasa atau bahkan sudah menikah, masih banyak kalangan milenial yang justru belum memiliki rumah. Fenomena ini menarik untuk diperhatikan karena dengan harga rumah yang terus menanjak setiap tahun, peluang kaum milenial untuk memiliki rumah juga akan semakin kecil.

kaum milenial sulit membeli rumah

Harga yang Mahal Menjadikan Milenial Sulit Memiliki Rumah

Alasan pertama yang menjadikan milenial sulit memiliki rumah adalah harga yang mahal. Saat ini, jika berkaca di kota-kota besar, sulit untuk menemukan rumah dengan harga di bawah Rp 1 miliar. Kalau pun ada, rumah tersebut kecil kemungkinan akan dilirik oleh kaum milenial. Hal ini bisa didorong beberapa faktor. Mulai dari jarak yang jauh ke tempat kerja, kondisi bangunan, kondisi lingkungan sekitar, dan lain sebagainya.

Sementara, jika kaum milenial menemukan rumah yang dianggap cocok, walaupun belum tentu sesuai dengan ekspektasi, nilai yang ditawarkan pemilik atau pengembang jauh melampaui kemampuan keuangan. Belum lagi dengan kondisi Upah Minimum Regional (UMR) yang masih cenderung rendah serta adanya fenomena generasi roti lapis (sandwich generation) mendorong pengeluaran kaum milenial semakin besar. Akibatnya, porsi dana yang seharusnya dapat dialokasikan untuk pembelian rumah menjadi semakin mengecil.

Akses Terbatas ke Pusat Gaya Hidup Menjadikan Milenial Sulit Memiliki Rumah

Alasan kedua yang membuat milenial sulit memiliki rumah adalah akses terbatas ke pusat gaya hidup. Rumah, bagi kaum milenial, bukan lagi terbatas sebagai tempat untuk tinggal atau istirahat. Rumah juga berfungsi sebagai tempat peristirahatan sebentar dari rutinitas sehari-hari. Bagi kaum milenial, aktivitas di luar jam kerja tidak lagi berfokus di rumah, melainkan di pusat-pusat gaya hidup seperti pusat perbelanjaan, atraksi, tempat wisata, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, saat ini, semakin dekat suatu rumah dengan pusat-pusat gaya hidup tersebut, semakin besar kemungkinan tempat tersebut dilirik oleh kaum milenial. Sayangnya, jika melihat karakteristik rumah yang ada di Indonesia saat ini, karakteristik rumah seperti ini sebagian besar hanya bisa ditemukan pada perumahan yang dibangun oleh pengembang, bukan rumah yang dibangun oleh individu. Akibatnya, kaum milenial tak jarang mengabaikan rumah yang jauh dari pusat gaya hidup karena dianggap justru akan membuat hidup mereka semakin membosankan.

Sistem Pembiayaan yang Berat

Selain 2 alasan di atas, hal lain yang turut menjadikan kaum milenial kesulitan dalam memiliki rumah adalah sistem pembiayaaan yang berat. Hal ini masih terkait erat dengan harga rumah yang berada di atas jangkauan keuangan kaum milenial. Bahkan ketika dihitung dengan mempertimbangkan pendapatan dari gaji, tak jarang seorang milenial harus menunggu puluhan tahun untuk bisa memiliki rumah dengan mengandalkan uang sendiri.

Memang, ada opsi pembelian rumah dengan mengandalkan Kredit Pemilikan Rumah atau KPR. Sayangnya, saat ini, bunga yang ditawarkan oleh bank selaku pemberi KPR maupun lembaga lain cukup tinggi. Rata-rata bunga tahunan yang ditawarkan oleh lembaga pemberi KPR mencapai 10% per tahun. Jika ditotal, setidaknya bunga yang harus dibayarkan oleh para penikmat KPR mencapai angka 25% dari nilai total properti yang dibeli. Sistem pembiayaaan seperti inilah yang dianggap justru semakin memperberat kaum milenial untuk membeli rumah. Kalaupun dana tersedia, kaum milenial hanya mampu membeli rumah seadanya, tak jarang bahkan berada di lokasi yang jauh dari tempat kerja maupun fasilitas pendukung lainnya. Sementara jika mengandalkan tempat yang dekat dengan berbagai fasilitas pendukung tersebut, kaum milenial harus dihadapkan dengan harga rumah yang mahal hingga sistem pembiayaan KPR yang berat.