Belakangan ini santer beredar kabar bahwa pemerintah Indonesia berencana menerapkan pajak atas setiap transaksi mata  uang kripto. Rencana ini didasari latar belakang bahwa mata uang kripto saat ini tengah gencar diperjualbelikan oleh masyarakat. Bahkan berdasarkan data terakhir yang diperoleh, transaksi mata uang kripto di tahun 2020 mencapai angka Rp 70 triliun. Menanggapi fenomena seperti ini, pemerintah pun tidak tinggal diam. Jika mengacu pada data ini saja, pemerintah menargetkan bisa mendapatkan pajak transaksi kripto dalam jumlah yang lebih besar. Meski demikian langkah ini bukannya tanpa pro dan kontra.

Mendorong Penerimaan Negara dari Pajak Transaksi Kripto

Kondisi penerimaan negara yang tengah menurun ditengarai menjadi salah satu alasan yang mendorong pemerintah untuk mengeluarkan wacana ini. Terlebih ketika melihat masa depan transaksi kripto yang cukup cerah, pemerintah mempertimbangkan transaksi mata uang kripto sebagai salah satu pundi-pundi pemasukan keuangan negara. 

Hal ini sebenarnya wajar terlebih mengingat nilai tukar mata uang kripto yang tengah mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Beberapa mata uang bahkan mencatatkan kenaikan nilai tukar mencapai puluhan bahkan hingga ribuan persen dalam rentang waktu 1 tahun. Potensi yang demikian besar ini kemudian mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan pengenaan pajak atas transaksi kripto.

Pengakuan dari Negara

Dari segi pemerintah, besarnya transaksi kripto sangat menjanjikan sebagai salah satu sumber alternatif pemasukan negara. Sementara dari sisi investor atau para trader, pengenaan pajak ini memiliki banyak makna. Salah satunya adalah pengakuan yang diberikan oleh negara. Pengakuan ini menjadi penting karena pada akhirnya diharapkan menjadi dasar dari perlindungan dari negara kepada investor.

Perlindungan memang menjadi salah satu aspek signifikan yang membedakan mata uang kripto dengan aset lain yang bersifat investasi. Saham, misalnya, telah menerapkan sistem perlindungan kepada para investor. Bahkan ketika perusahaan emiten bangkrut, para investor mendapatkan jaminan dari negara bahwa seluruh dana mereka akan kembali. 

Sayangnya, hal ini masih belum berlaku atas transaksi kripto. Ketika bursa transaksi atau exchange yang menjadi tulang punggung transaksi, gagal beroperasi, tidak ada satu jaminan pun bahwa dana investor akan dikembalikan. Seluruh dana bisa saja hangus. Hal ini tentunya akan menjadi kerugian bagi para investor, terlebih bagi mereka yang telah menanamkan dana dalam jumlah besar. 

Besaran Pajak Transaksi Kripto

Hingga saat ini, belum ada kepastian dari pihak pemerintah terkait besaran pajak transaksi kripto yang akan diterapkan. Namun berdasarkan kabar yang beredar belakangan ini, pemerintah berencana menerapkan pajak sebesar 0.5% dari nilai transaksi. Besaran ini masih lebih rendah daripada pajak yang dikenakan terhadap transaksi saham sebesar 1%. 

Ada beberapa persepsi yang beredar menanggapi usulan besaran pajak ini. Jenis pajaknya sendiri diperkirakan akan dimasukkan dalam jenis PPh atau pajak penghasilan. Dengan nominal yang hanya 50% dari pajak saham, tampaknya pemerintah ingin memberikan kesan mendukung adanya transaksi mata uang kripto seperti ini. JIka dikombinasikan dengan pengakuan yang akan diberikan oleh pemerintah, maka hal ini tentunya akan menjadi angin segar bagi dunia transaksi mata uang kripto di Tanah Air.

Terlebih dengan adanya pengenaan pajak, maka sebenarnya pemerintah memberikan gambaran bahwa akan ada perlindungan tersendiri yang dilakukan. Pemerintah sebagai pihak yang menerima pajak akan memberikan perlindungan sebagai hak warga negara yang telah membayar pajak tersebut. Dengan cara ini, investor tentu akan semakin tertarik melakukan transaksi mata uang kripto. Volatilitas yang tinggi memberikan risiko yang jauh lebih besar dalam transaksi kripto. Ada begitu banyak risiko yang bisa terjadi, termasuk perubahan nilai tukar yang sangat signifikan. Dengan adanya perlindungan semacam ini, diharapkan investor mampu terhindar atau setidaknya meminimalkan risiko yang bisa terjadi.