Upaya Pemerintah Mengurangi Ketergantungan Mata Uang Asing
Keterlibatan mata uang asing dalam sebuah perdagangan internasional tidak bisa diabaikan. Ada banyak alasan di balik pemilihan mata uang asing sebagai alat pembiayaan transaksi. Ada pihak yang memilihnya karena alasan kemudahan dan popularitas. Namun di luar pemahaman banyak kalangan, penggunaan mata uang asing yang berlebihan juga bisa berdampak negatif terhadap negara lain yang terlibat dalam transaksi tersebut. Penggunaan mata uang asing yang berlebihan justru bisa berujung pada ketergantungan mata uang asing. Akibatnya, mata uang negara lain yang juga terlibat dalam perdagangan internasional tersebut akan terdorong untuk mengalami devaluasi dan bahkan inflasi. Jika tidak dikelola secara serius, maka hal ini bisa berpotensi mengganggu ketahanan ekonomi suatu negara pada jangka panjang.
Risiko Serius di Balik Ketergantungan Mata Uang Asing
Transaksi menggunakan mata uang asing memang menawarkan kemudahan tersendiri. Terlebih jika mata uang asing yang digunakan cukup terkenal dan memiliki cakupan global seperti Dolar Amerika Serikat. Salah satu keuntungan yang ditawarkan adalah kemungkinan besar baik pembeli maupun penjual dapat mengakses mata uang yang sama. Dengan demikian, proses pembayaran akan menjadi lebih mudah.
Tentu, hal ini tidak akan masalah jika dilakukan pada frekuensi rendah. Hanya saja, ketika pihak pembeli dan penjual dihadapkan pada kemudahan, sering terjadi kedua belah pihak akan terbiasa dan cenderung menghindari risiko menggunakan mata uang lain. Akibatnya, pada jangka panjang, mata uang lain yang berasal dari salah satu atau kedua belah pihak, baik pembeli maupun penjual, akan kehilangan daya tarik. Banyak pihak akan lebih cenderung menggunakan mata uang asing daripada mata uang sendiri.
Sebagai contoh, di Indonesia, banyak transaksi barang dan jasa dilakukan dengan menggunakan mata uang Dolar Amerika Serikat. Banyak pihak memilih transaksi menggunakan mata uang ini karena kedua pihak mudah mengakses layanan ini. Di samping itu, ada begitu banyak bank dan lembaga keuangan yang memberlakukan transaksi antarnegara hanya dengan mata uang Dolar Amerika Serikat. Meski diklaim mudah, namun semakin banyak transaksi yang dilakukan dengan USD, maka semakin rendah pula minat masyarakat global akan Rupiah. Akibatnya, Rupiah akan mengalami pelemahan nilai tukar.
Pada jangka pendek, pelemahan nilai tukar ini dapat menyebabkan inflasi. Sementara pada jangka panjang, pelemahan nilai tukar ini dapat menyebabkan pelemahan ekonomi nasional. Hal ini karena semakin sedikit pihak yang akan tertarik bertransaksi dengan mata uang Rupiah. Akibatnya, Rupiah menjadi semakin tidak berharga. Pada satu titik, ketika Rupiah tidak lagi memiliki nilai dan daya tarik, hal ini bisa berujung pada hilangnya Rupiah sebagai identitas bangsa dan negara Indonesia.
Tak hanya itu, ketergantungan mata uang asing juga sebenarnya berdampak buruk terhadap keuangan nasional dan pelaku usaha. Dari segi pelaku usaha, nilai tukar Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah yang dinamis akan menimbulkan ketidakpastian terkait jumlah Rupiah yang harus dikonversi menjadi Dolar AS. Bahkan ketika terjadi pelemahan nilai Rupiah, nilai barang atau jasa yang harus dibayar akan menjadi jauh lebih mahal daripada ketika nilai tukar keduanya stabil. Akibatnya, perusahaan bahkan justru bisa merugi dari waktu ke waktu.
Sementara dari aspek nasional, ketergantungan mata uang asing akan menarik banyak Rupiah keluar dari dalam negeri. Akibatnya, pemerintah dan Bank Indonesia akan kehilangan daya kontrol terhadap peredaran mata uang Rupiah. Pihak investor maupun bandar yang memiliki sebagian besar mata uang Rupiah akan bisa mengatur nilai tukar Rupiah. Akibatnya, ekonomi nasional menjadi sangat rapuh dsan bisa menjadi runtuh.
Upaya Pemerintah Mengurangi Ketergantungan Mata Uang Asing
Untuk mengurangi dampak dan risiko tersebut, pemerintah pun berupaya untuk mengurangi ketergantungan mata uang asing. Salah satunya adalah mendorong terjadinya transaksi perdagangan menggunakan mata uang Rupiah. Hal ini baru-baru ini dilaksanakan pemerintah dengan menjalin kerjasama dengan beberapa negara di Asia termasuk para negara anggota ASEAN dan Cina.
Kerjasama ini memungkinkan seluruh pihak untuk melakukan transaksi menggunakan mata uang setempat. Sebagai contoh, apabila pihak Indonesia dan Thailand melakukan perdagangan, maka kedua pihak bisa melakukan pembayaran dalam mata uang Rupiah dan Baht. Selain memberikan keuntungan dari nilai tukar yang tidak terlalu jauh berbeda, penggunaan mata uang lokal juga dianggap lebih stabil dan bahkan bisa menguatkan ketahanan ekonomi nasional masing-masing negara.
Penguatan Ekonomi Nasional
Mengurangi ketergantungan terhadap mata uang asing adalah salah satu strategi ketahanan nasional di bidang ekonomi. Namun sejatinya hal ini tidak bisa dicapai jika pemerintah hanya melibatkan para pelaku usaha sektor industri dan kelas besar. Pelibatan seluruh aspek masyarakat menjadi kunci di balik tercapainya tujuan bersama ini. Oleh karena itu, ada baiknya jika aktivitas transaksi perdagangan dengan mata uang lokal ini juga dilakukand engan melibatkan para pelaku UMKM.